Kamis, 27 Januari 2011

Transparansi Good Governance


I. Pendahuluan                   
Isu good governance mulai mencuat pada  akhir tahun 1980-an, terpicu oleh runtuhnya tembok Berlin dan kemiskinan di Eropa Timur, Afrika, dan Asia. Konsepsi good governance yang lahir di Eropa mendapat dukungan kuat dari negara industri di luar Eropa dan badan-badan pemberi pinjaman internasional, seperti U.K. Overseas Development Administration, United Nations Development Programe, dan World Bank (Minogue, 1987). Mereka secara substansial memberikan pengertian yang sama rnengenai good governance ini, terutama dengan menempatkan akuntabilitas sebagai unsur yang penting di dalamnya.
            Dalam pelaksanaan good governance, sejumlah jajaran birokrasi harus bertanggungjawab dan memberikan alasan hukum atas tindakan dan keputusan serta pengelolaan pelayanan publik. Untuk itu, yang diperlukan adalah alat untuk mencatat, menganalisis, meringkaskan, dan menginterpretasikan data-data yang akan dilaporkan.
            Di Indonesia epilog pemerintahan Orde Baru telah berakhir pada tanggal 21 Mei 1998 setelah berkuasa kurang lebih selama 30 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, pola manajemen pemerintahannya tertutup dan otoritarian dengan pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan sangat ketat dan berkesinambungan, di mana pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau penyelenggaraan negara yang baik (good governance) seringkali hanya menjadi jargon politik daripada diimplementasikan dalam kenyataan. Akhirnya, melahirkan isu aktual di bidang: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang menjadi salah satu penyebab utama jatuhnya pemerintah orde baru.
            Memasuki era reformasi Kabinet Abdurrahman Wahid yang dikenal Kabinet Reformasi Gus Dur, paska transisi Presiden Habibie dilanjut dengan Kabinet Megawati Soekarno Putri yang dikenal dengan Kabinet Gotong Royong sejak pertengahan tahun 1998, sangat disadari pentingnya membangun kembali manajemen pemerintahan melalui paradigma baru (new paradigm) menuju good governance, dengan tiga prinsip dasar yaitu: (1) transparansi, (2) partisipasi, dan (3) akuntabilitas.
       Memahami kondisi tersebut, idealnya pemerintahan negeri ini yang mendeklarasikan sebagai Kabinet Indonesia Bersatu yang dipandegani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diawali September 2004 yang lalu layak secara terus menerus meresponnya secara proporsional dengan usaha mereformasi infrastruktur dengan meminta akuntabilitas para anggota legislatif maupun eksekutif yang diduga tidak memiliki jiwa good government governance yang mana di dalamnya syarat dengan KKN. Oleh karena itu layak dilakukan reenginering suprasruktur pemerintahan dengan  memberdayakan masyarakat guna mewujudkan masyarakat madani (civil society), yang menghargai nilai-nilai universal, demokratisasi, dan hak asasi manusia (human rights) (kariyoto)
II.         Perkembangan Paradigma From Governmant to Governance
Perkembangan kearah good governance ini juga bisa dilihat dari perkembangan ilmu pengurusan/administrasi (penyelenggaraan) pemerintah,publicadministration. Bagaimana mengurus suatu pemerintahan yang baik. Kepegawaian negeri yang efisien dan efektif. Perumusan tujuan pemerintahan, kebijakan (policy), kepemimpinan dan penggerakkan motivasi aparatur, pengawasan fungsional dan lain sebagainya. Sekarangpun masalah administrasi negara masih ada misalnya masalah pencampuran jabatan politis dengan jabatan karier dalam organisasi pemerintahan. Restrukturisasi pengorganisasian dan relokasi kepegawaian karena otonomi daerah-daerah. Dalam kepemimpinan dan motivasi prinsip-prinsip administrasi/manajemen yang baik diabaikan. Kemudian berkembang Administtrasi atau Manajemen Pembangunan.  Terutama ini bagi negara-negara berkembang yang mempunyai niat mengusahakan perkapita terselenggaranya pembangunan. Apakah ini dalam arti pendapatan perkapita yang meningkat, distribusi pendapatan yang lebih adil. Pada pokoknya peningkatan kesejahteraan hidup anggota masyarakat. Ada yang menyebut yang
dituju adalah improving quality of life (M.Soerjani). Untuk mengusahakan kearah itu, pemerintah berperan sebagai pendorong proses pembangunan, sebagai agent of change. Dan ini dilakukan melalui instrumen kebijakan (policy). Perencanaan (planning) dan Anggaran (Budget). Rinciannya melalui berbagai program dan proyek. Kemudian manajemen implementasinya dan pengawasannya (pengendalian pelaksanaannya). Dan ini disebabkan karena masyarakat sendiri perlu ditingkatkan keberdayaannya. Untuk meningkatkan produksi pangan sekaligus kesejahteraan hidup para petani ada program dan proyek, dan pembentukan kontak tani. Untukmeningkatkan peran usaha menengah dan kecil ada program dan proyek daripemerintah. Demikian untuk KB dan lain sebagainya. Dalam pengembangan 4 industri pemerintah memelopori dengan infant industries, bahkan industrial parks. Ini juga dengan pengembangan institusi keuangan seperti perbankan dan institusi keuangan non bank (misalnya venture capital). Tetapi yang jelas dalam paradigm ini Pemerintah adalah the agent of change. Mungkin ini perlu karena belum ada efective capacity disektor swasta dan juga di masyarakat (LSM masih belum berdaya) . Kemudian berkembang pemikiran Reinventing Government bahkan Banishing Bureaucracy yang intinya Pemerintah (birokrasi) tidak perlu jadi pelaku pasar. Lebih memusatkan pada mengarahkan melalui kebijakan, steering rather than rowing. Dan memanfaatkan mekanisme pasar untuk mendorong perubahan Leveraging shange through the market. Pemerintah lebih bersifat entrepreneurial. Birokrasi yang ramping yang memberdayakan masyarakat. Fasilittating,enabling. Hal-hal yang sudah bisa dilakukan lebih baik olehdunia usaha swasta dan organisasi masyarakat serahkan kepada mereka. Kemudian berkembang paradigma (good) governace. Adatiga institusi dalam domain governance yaitu the state (negara atau pemerintah). Private sector (sektor swasta dan dunia usaha). Dan citizen mungkin
lebih tepat organisasi lokal / kemasyarakatan. Mereka berinteraksi dalamfungsinya yang paling tepat bagi masing-masing. Pemerintah lebih berperan fasilitaty dan enabler (yangmemungkinkan masyarakat sendiri berperan aktif sebagai pelaku ekonomi sosial).. (Prof. Bintoro Tjokroamidjojo)



III.        Konsepsi Kepemerintahan yang baik
1.    Pengertian
sebagian akibat adanya globalisasi suatu ide, kegiatan (fenomena menjadi sesuatu yang global : tidak hanya untuk suatu masyarakat / bangsa tertentu. Globalisasi memang bukan hanya ekonomi, tetapi juga idiologi, HAM dan Politik (Bintoro Tjokroamidjojo 2000)
Ismail Mohamad (2000) mengatakan bahwa ahli juga sepakat bahwa Good Governance merupakan paradigma baru dan menjadi ciri yang harus ada dalam sistem administrasi publi, yang dalam penyelenggaraannya harus secara politik akseptabel, secara hukum efektf dan secara administrasi efisien.
Bintoro Tjokroamidjojo (2000) Governance artinya Memerintah – Menguasai Mengurus.  Bondan Gunawan (2000) menawarkan kata pengelenggaraan World Bank (2000) merumuskan pelaksanaan kekuasaan politik untuk memanage masalah – masalah suatu negara.
Karshi Nisjar (1997) istilah Govermance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan, pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah guilding.
Governance adalah suatu proses dalam mana suatu sistem sosial,
ekonomi atau sistem organisasi kompel lainnya dikendalikan dan diatur (Paquet 1944). Sedangkan Pinto (1994) mendefinisikan Governance sebagai pratek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintah secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Proses penyelenggaran kekuasaan negara dalam mealksanakan penyediaan public goods and services disebut Governance (pemerintah / kepemerintahan). Sedangkan praktek terbaik disebut Good Governance (kepemerintahan yang baik).




Istilah Good Governance diartikan kepemerintahan yang baik (Sofyan
Effendi 2000). Bondan Gunawan (2000 mengajukan padanan kata penyelenggaraan yang baik atau pemerintah yang bersih, pemerintahan yang berani bawa (Ismail Muhamad 1997).
            Pemerintah atau “government” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai pengarahan dan admistrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah neagara , Negara bagian, kota dan sebagainya. Sedangakan istilah “kepemarintahan” dalam bahasa Inggris dartikan sebagai tindan, fakta,  pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan, dengan demikian “ governance “ adalh suatu kegaitan ( proses), sebagaimana di kemukakan oleh Kooiman (1993) bahwa government lebih merupakan “ ….serankaian proses interaksi social poltik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan tersebut”
            Istilah “ governance” tidak hanya berarti kepermerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan , pembinaan penyelenggaraan dan juga bisa diartikan pemerintahan. United nations development program ( UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “ governance for sustainable human development”, (1997) mendefinisikan kepemerintahn sebagai berikut: kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan / kekuasaan dibidang ekomnomi,politik , administrative untuk mengelola berbagai urusan Negara kepada setiap tingkatannya dan merupakan anstrumen kebijakan Negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas social dalam masyarakat  “
            Berikut secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik ( good governance ) mengandung dua pemahaman  :
Pertama , nilai yang menjunjung tinggi keinginan/ kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan ( nasional ) kemandirian , pembangunan berkelanjutan dan keadilan social .
Kedua , aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mncapai tujuan tersebut.
            Selanjutnya Lembaga Admnistrasi Negara mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada :
Pertama, orientasi ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional;
Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efectif, efisien dalam melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti : legitimaty ( apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya ), accountability scuring of human right , autonomy and devolution of power and assurance of civilan control. Sedangkan orientasi kedua tergantung pada seajuh mana pemerintahan mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan sdministrasi berfungsi secara efektif dan efisien.
            Lembaga Administrasi Nagara (2000) menyimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyenyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien, efectif, dengan menjaa “ kesinergian “ interaksi yang konstruktif diantara domain-domain egar serta sector swasta dan masyarakat.
            Selain itu peraturan pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti good governance sebagai berikut : “ kepemeintahan yang mengemban akan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi dan pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat “.
            Dengan demikian, pada dasarnya unsure-unsur dalam kepemerintahan ( governance stake holders ) dapat dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu :
1.    Negara/ pemerintahan : konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegraa , tetapi lebih jauh melibatakan pula swasta dan kelembagaan masyarakt madani.
2.    Sector swasta : pelaku sekror swasta yang aktif dalam interaksi dalam system pasar, seperti : industry pengplahan perdagangan , perbankan dan koperasi termasuk sector informal
3.    Masyarakat madani : kelompok masyakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tangah-tengah antara pemrintah dan perseorangan,  yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara social, politk, ekonomi.
2.    Penerapan Prinsip Good Governance pada Sector Publik.
Gambir Bhatta (1997) mengungkapkan pula bahwa “ unsure utama governance “, yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (tranparancy), keterbukaaan(openes), aturan hukum (rule of law), ditambah dengan kompetensi managemen (management compentence ) dan hak-hak azasi manusia (human right).
UNDP (1997) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi :
1.    Partisipasi (participaton) : setiap orang atau warga masyarakat , baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara lansung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan aspirasinya dan kepentingan masing-masing.
2.    Aturan hukum ( rule of law) : kerangka aturan hukum  dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum mengenai hak azasi manusia.
3.    Transparansi (transparancy) : transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi.
4.    Daya Tanggap (responsivenes) : setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders)
5.    Berorientasi consensus ( consensus orientation ) : pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai  penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai consensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan  masing-masing pihak, jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagi kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah
6.    Berkeadilan  (equity) : pemerintahan yang baik akan member kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualias hidupnya.
7.    Efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency) : setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.
8.    Akuntabilitas (accountability) : para pengambil keputusan dalam organisasi sector public, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggung jawaban( akuntabilitas ) kepada public ( masyarakat umum) sebagaimana halnya kepada para pemilik (stake holders)
9.    Visi strategis ( strategic vision ) : para pimpinan dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan  pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia., bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut
Keseluruhan karakteristik atau prinsip Goog Governance tersebut adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bias berdiri sendiri.
            Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa terdapat empat unsur atau prinsip utama yang dapat memberi gambaran administrasi public yang berdiri kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut :
1.    Akuntabilitas : adanya kewajiban bagi aparat pemerintah untuk bertindak selaku penaggung jawab dari penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijkan yang ditetapkannya
2.    Transparansi : kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik tingakat pusat maupun daerah
3.    Keterbukaan : menghendaki keterbukaan kesempatan bagi rakyat untuk mngajukan tanggapan dan kritik terhadap pemrintah yang dinilainya tidak transparan
4.    Aturan hukum : kepemerintahan yang baik memiliki karakteristik berupa jaminan keapstian hokum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan public yang ditempuh. 
Menurut Bank Dunia (1992), good governance adalah sistem pemerintahan yang handal, pelayanan publik yang efisien, serta pemerintahan yang akuntabel terhadap publik. Jusuf Wanandi (1998), mengemukakan makna good governance adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, segala kebijakan yang diambal secara transparan, dan dapat dipertanggung-jawabkan (akuntabel) kepada masyarakat.
Atribut good governance menurut pandangan masyarakat Eropa yang diterima baik di seluruh dunia, terdiri dari: (1) Menghargai hak asasi manusia (HAM), kebebasan pers, dan kebebasan mengemu kakan pendapat; (2) Akuntabilitas keuangan, ekonomi, dan politik yang baik; (3) Manajemen lingkungan ekonomi dan bisnis yang bersahabat dengan pasar; (4) Transparansi manajemen pemerintahan; (5) Pengambilan keputusan yang demokratis; (6)  Kebijakan ekonomi dan sosial yang baik.
            Berdasarkan atribut tersebut di atas menunjukkan bahwa, good governance mencakup aspek kehidupan yang luas, meliputi: hukum, politik, ekonomi, dan sosial, serta berhubungan erat dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, baik eksekutif, legisiatif, maupun yudikatif. Pemakaian istilah good governance direkomendasikan oleh Bank Dunia sebagai opsi dari good government atau clean government yang terkesan hanya berkaitan dengan lembaga eksekutif saja.
             Sedangkan good governance berlaku terhadap keseluruhan lembaga negara dalam penyelenggaraan negara, di mana dalam membangunnya dimuali sejak: rekrutmen, pendidikan, penempatan, pelaksanaan, pembinaan dan pengawasannya, pembentukan budaya institusinya (institutional culture, keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap penyelenggara negara (right and obligation), dan secara simultan diikuti dengan penegakan hukum (law enforcement) sebagai keharusan yang tak perlu diperdebatkan lagi. Sedangkan, dalam dunia bisnis, good governance, dikenal dengan istilah good corporate governance dengan prinsip yang kurang lebih sama.
            Dalam setiap penyelenggaraan good governance, harus berlandaskan pada tiga prinsip dasar yaitu: (1) Transparansi adalah  keterbukaan dalam manajemen pemerintahan, manajemer lingkungan, ekonomi, sosial dan politik; (2) Partisipasi dimana pengambilan keputusan yang demokratis, pengakuan HAM kebebasan pers, kebebasan mengemukakan pendapat, dan mengakomodasi aspirasi masyarakat (partisipasi); (3) Akuntabilitas adalah mempertang-gungjawabkan keberhasilan atau kegagalan ke pada pemberi amanah, sampai pemberi amanah atau yang mendelegasikan kewenangan puas terhadap kinerja pelaksanaan kegiatannya.
             Ketiga prinsip dasar tersebut, merupakan bagian tak terpisahkan dalam setiap penentuan kebijakan publik, implementasi, dan pertanggungjawabannya dalam bingkai good governance. Agar good governance menjadi kenyataan dan  sukses diperlukan komitmen dari semua pihak, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Good governance yang etektif menuntut adanya kesetaraan, interpretasi, serta etos kerja dan moral yang tinggi sebagai nilai dasar yang harus dipegang teguh oleh seluruh komponen yang terkait.                              
       Dengan demikian, good governance merupakan cita-cita ideal, di mana untuk mencapainya diperlukan masa transisi dan pelaksanaan secara bertahap (gradual), selain itu diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terkait, dan tindakan nyata ke arah terselenggarnya good governance guna meraih peluang yang selalu terbuka
3.         Pilar- pilar Pemerintahan yang Baik
(1) pemerintah
(2) masyarakat
(3) swasta
dengan fungsinya masing-masing:
Negara atau Pemerintah, berfungsi dalam hal:
1. regulasi/pembuatan kebijakan publik;
2. pengendalian dan pengawasan publik;
3. pelindungan dan pengayoman masyarakat dan swasta;
4. fasilitasi kepentingan negara dan publik;
5. pelayanan kepentingan publik.
Swasta atau Dunia Usaha, berfungsi dalam hal:
1. penggerakan aktivitas bidang ekonomi;
2. penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan bangsa;
3. penyelenggaraan usaha-usaha perindustrian dan perdagangan;
4. penyelenggaraan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Masyarakat, berfungsi dalam hal:
1. posisinya sebagai subjek sekaligus objek (parsitipator) bagi penyelenggaraan
urusan-urusan yang dilakukan oleh Negara/ Pemerintah dan Swasta;
2. pengontrol terhadap kinerja Pemerintah dan Swasta.




Hubungan kerjasama antar-ketiga pilar
Oval: pemerintah






IV.       Makna Transparansi
1.    Pengertian Transparansi
(1)  Transparansi adalah  keterbukaan dalam manajemen pemerintahan, manajemer lingkungan, ekonomi, sosial dan politik
(2)  Transparansi : kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik tingakat pusat maupun daerah
(3)  Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses – proses, lembaga – lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor.(UNDP,1996)
(4)  Transparansi : yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak mengenai perumusan kebijaksanaan (Politik) dari pemerintah, organisasi, badan usaha. Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah baik di pusat maupun di daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka di ketahui oleh umum.(kasha nijsar,2007)
(5)  Transparansi seperti yang digunakan dalam istilah politik berarti keterbukaan dan pertanggung-jawaban.(Wikipedia.com)
(6)  Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah (notodisirejo, 2002: 129). Prinsip transparansi menciptkan kepercayaan timbale balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyedian informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai, menurut Jeff dan Shah (1998;68) indicator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi , yaitu : Bertmabahnya wawasan dan pengetahuan masyarakaat terhadap pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berapartsipasi dalam pembangunan daerah dan berkurangnya pelanggaran terhadap perundang-undangan.
(7)  Transparansi penyelenggaraan pelayanan publik merupakan pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi
(8)  Transparansi terhadap manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian oleh masyarakat. Kegiatan tersebut harus dapat diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat;
(9)  Transparansi adalah harus tersedianya informasi kepada masyarakat terhadap proses dan pembuatan  kebijakan(teguh kurniawan,2007 )
(10)               Transparansi berarti terbukanya akses bagi seluruh masyarakat terhadap semua informasi yang terkait dengan segala kegiatan yang mencakup keseluruhan prosesnyamelalui suatu manajemen sistem informasi publik. Dengan adanya informasi yangterbuka maka akan memudahkan kontrol sosial dari warga.

2.    Asas Good Governance (Transparansi)

2.1.        Prinsip Dasar

Transparansi diperlukan agar pengawasan oleh masyarakat dan dunia usaha terhadap penyelenggaraan negara dapat dilakukan secara obyektif. Untuk itu, diperlukan penyediaan informasi melalui sistem informasi dan dokumentasi yang dapat diakses dengan mudah tentang pola perumusan dan isi peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik serta pelaksanaannya oleh masing-masing lembaga negara. Transparansi juga diperlukan dalam rangka penyusunan dan penggunaan anggaran. Asas transparansi ini tidak mengurangi kewajiban lembaga negara serta penyelenggara negara untuk merahasiakan kepentingan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus menolak memberikan informasi yang berkaitan dengan keselamatan negara, hak-hak pribadi dan rahasia jabatan

2.2.        Pedoman Pelaksanaan

2.1 Lembaga negara harus menyediakan informasi proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses penyusunannya.
2.2 Lembaga negara harus mengumumkan secara terbuka peraturan perundanganundangan dan kebijakan publik agar pemangku kepentingan dapat memahami dan melaksanakannya.
2.3 Lembaga negara harus menyediakan informasi yang mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat mengenai proses penetapan perundang-undangan dan kebijakan publik serta pelaksanaannya.
2.4 Lembaga negara juga harus menyediakan informasi mengenai penyusunan rencana strategis, program kerja dan anggaran serta pelaksanaannya.
2.5 Kelengkapan penyediaan informasi oleh lembaga negara dinilai dan diawasi oleh masyarakat sebagai bagian dari kontrol sosial.

2.3.        Penerapan Transparansi

1.         Asas Transparansi legislatif
a. Rancangan produk legislasi harus diumumkan secara terbuka dan luas kepada masyarakat dan disediakan dengan cara yang mudah diakses oleh masyarakat.
b. Proses pembahasan rancangan produk legislasi harus terbuka untuk umum sehingga memungkinkan masyarakat berpartisipasi secara bertanggung jawab.
c. Produk legislasi harus disosialisasikan secara luas kepada masyarakat.

2.         Asas Transparansi eksekutif
a. Rancangan peraturan perundang-undangan dan program kerja harus diumumkan secara terbuka dan luas kepada masyarakat dan disediakan dengan cara yang mudah diakses oleh masyarakat.
b. Proses pembahasan peraturan perundang-undangan dan kebijaksaan publik harus terbuka untuk umum sehingga memungkinkan pemangku kepentingan berpartisipasi secara bertanggung jawab.
c. Peraturan perundang-undangan dan program kerja harus disosialisasikan secara luas kepada masyarakat.
d. Pelayanan publik harus dilaksanakan berdasarkan standar prosedur operasi yang diumumkan secara terbuka.

3.    Asas Transparansi yudikatif
Informasi mengenai proses peradilan dan pengambilan putusan perkara harus disediakan dengan cara yang mudah diakses oleh masyarakat.

4.          Asas Transparansi non struktural
a. Program kerja harus diumumkan secara terbuka dan luas kepada masyarakat dan disediakan dengan cara yang mudah diakses oleh masyarakat.
b. Program kerja harus disosialisasikan secara luas kepada masyarakat.
c. Pelayanan publik harus dilaksanakan berdasarkan standar prosedur operasi yang diumumkan secara terbuka.
Penerapan transparansi secara konsisten oleh seluruh pelaku pemerintahan  pada dasarnya dimaksudkan, antara lain; (1) mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan-penyimpanganmelalui tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk melakukan kontrol sosial, (2) menghindarkan miss komunikasi ataupun salah persepsi, (3) mendorong proses masyarakat belajar dan “melembagakan” sikap bertanggung jawab serta tanggung gugat terhadap pilihan keputusan dan kegiatan yang dilaksanakannya, (4) membangun kepercayaan semua pihak (trust building) terhadap pelaksanaan pemerintahan serta (5) agar pelaksanaan kebijakan pemerintah  dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, prinsip dan nilai yang berlaku.

3.    Pentingnya Transparansi

Transparansi penyelenggaraan pemerintahan saat ini sudah menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan lagi. Namun terdapat satu pertanyaan, mengapa perlu transparansi dalamzpenyelenggaraan pemerintahan daerah? Sebelum kita lebih jauh berupaya menemukan format dan konsep transparansi mungkin pertanyaan di atas perlu dijawab terlebih dahulu.
Ketika seseorang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah maka ia akan menawarkan seperangkat janji kepada para pemilih, demikian juga halnya para anggota legislatif juga memberikan seperangkat janji kepada konstituennya. Selanjutnya setelah mereka terpilih sebelum melaksanakan tugasnya mereka akan mengangkat sumpah. Hal itu semua merupakan seperangkat janji yang harus dipenuhi kepada para pemilih ataupun kepada diri sendiri.
Sasaran penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini seharusnya adalah kepercayaan yang di-perintah terhadap pemerintah sebagai ouput. Maksudnya disini adalah yang di-perintah percaya kepada pemerintah karena bukti bukan janji. Kepercayaan tersebut timbul karena pemerintah mampu dan mau untuk memenuhi janji yang telah disampaikan.
Kemampuan untuk menjawab atau memenuhi janji atau commitment kepada orang lain atau diri sendiri tersebut adalah tanggung jawab (responsibility) . Jadi pemerintah yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang mampu menjawab atau memenuhi janji kepada warganya.
Untuk mewujudkan pertanggung jawaban pemerintah terhadap warganya salah satu cara dilakukan dengan menggunakan prinsip transparansi (keterbukaan). Melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Juga melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
4.    Format dan Konsep Transparansi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Format dan konsep transparansi yang akan kita implementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari salah satu azas-azas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur oleh UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Azas keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Penerapan azas transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah secara benar, jujur dan tidak diskriminatif. Transparansi penyelenggaraan pemerin-tahan daerah adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk mengetahui “siapa mengambil keputusan apa beserta alasannya” .
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik tuntutan adanya transparansi tidak hanya kepada pemerintah daerah (eksekutif) tetapi juga kepada DPRD (legislatif). Mengingat posisi DPRD yang cukup kuat dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah maka dalam setiap kegiatannya DPRD harus lebih transparan (terbuka) kepada masyarakat. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pada transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sudut DPRD adalah ; (1) rapat-rapat DPRD yang terbuka untuk umum agar dapat diinformasikan kepada masyarakat agenda dan jadwalnya, (2) penyediaan risalah rapat-rapat terbuka bagi umum ditempat yang mudah diakses masyarakat, dan (3) keputusan yang dihasilkan DPRD hendaknya dapat dipublikasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat.
Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerin-tahan daerah dalam hubungannya dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa hal berikut ; (1) publikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, (2) publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang berbagai perizinan dan prosedurnya, (3) publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah, (4) transparansi dalam penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek pemerintah daerah kepada pihak ketiga, dan (5) kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak diskriminatif dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selanjutnya dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat hidup orang banyak hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. Hal ini disamping untuk mewujudkan transparansi juga akan sangat membantu pemerintah daerah dan DPRD dalam melahirkan Peraturan Daerah yang accountable dan dapat menampung aspirasi masyarakat.
Akhirnya, kami berharap uraian singkat ini dapat menjadi masukan bagi kita semua dalam menyusun suatu format dan konsep transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik. Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu ; (1) salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan (2) upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
V.        Hal-Hal Yang Berhubungan Dengan Transparansi
1.  Akseptabilitas
Ada kecenderungan di kalangan masyarakat untuk meminjam kata benda dalam bahasa Inggris yang berakhiran “ty” atau “ity” ke dalam bahasa Indonesia dengan cara menerjemahkan kedua akhiran itu menjadi “tas”. Demikianlah, “acceptability” menjadi “akseptabilitas” dalam kamus besar Bahasa Indonesia “akseptabilitas” adalah dapat diterima, tidak di tolak
Istilah lain adalah “akseptabilitas” . Lagi-lagi, ini adalah salin-rekat (ini adalah terjemahan dari istilah “copy-paste” yang akhir-akhir ini juga mulai luas dipakai dalam versi Inggrisnya langsung) dari kata “acceptability” . Kenapa kita tidak memakai padanan Indonesianya saja: keterterimaan, kecocokan, kepantasan, misalnya? Saya kira istilah kecocokan jauh lebih tepat dipakai di sini.
2.  Kapabilitas
Ada kecenderungan di kalangan masyarakat untuk meminjam kata benda dalam bahasa Inggris yang berakhiran “ty” atau “ity” ke dalam bahasa Indonesia dengan cara menerjemahkan kedua akhiran itu menjadi “tas”. Demikianlah, “capability” menjadi “kapabilitas” , dalam kamus besar Bahasa Indonesia “kapabilitas” adalah kompeten, kemampuan, kekuatan
Sen mendefinisikan “kapabilitas” sebagai “kebebasan yang dimiliki seseorang dalam arti pilihan functioning, dengan fitur-fitur personal yang dimilikinya (perubahan karakteristik menjadi functioning), dan kontrol yang dimilikinya terhadap komoditi…” (Todaro, 2003: 24).
Seperti dalam mikro ekonomi dasar, penghasilan hanya akan memiliki makna jika penghasilan tersebut dapat meningkatkan utilitas, dan utilitas itu sendiri penting karena menunjukkan kapabilitas seseorang. Dan tentu saja, kapabilitas sebagian ditentukan oleh pendapatan (Todaro, 2003: 24).
Perspektif yang ditawarkan Sen membantu memperjelas mengapa para ahli ekonomi pembangunan telah menempatkan penekanan yang begitu jelas terhadap kesehatan dan pendidikan, dan menyebut negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi tetapi memiliki standar kesehatan dan pendidikan yang rendah sebagai kasus “pertumbuhan tanpa pembangunan”. Pendapatan riil memang sangat penting, tetapi untuk mengkoversikan karakteristik komoditi menjadi fungsi yang sesuai, dalam banyak hal yang penting, jelas membutuhkan kesehatan dan pendidikan selain pendapatan. (Todaro, 2003: 25)
Menurut Wie (2004: 9), perspektif kemampuan (kapabilitas) Sen dalam batas tertentu merujuk pada pendekatan pembangunan ekonomi-sosial terpadu sebagaimana dibahas oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations dan The Theory of Moral Sentiments. Dalam menganalisis kemungkinan-kemungkinan produksi, Smith memang menekankan pentingnya peranan pendidikan maupun pembagian kerja, belajar dengan bekerja dan pengasahan keterampilan.
Dengan kata lain, lanjut Wie (2004: 9), yang diperhatikan adalah cara agar manusia menjadi lebih produktif sepanjang waktu sehingga memberikan sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Perspektif ini memfokuskan perhatian kepada kemampuan atau kebebasan substantif semua orang untuk menempuh kehidupan yang menjadi idaman dan meningkatkan pilihan-pilihan riil yang ada.
Konsep Kapabilitas Berfungsi mencakup tiga aspek kunci (Sen, 2000), yaitu:
a. Kecukupan, yang meliputi kecukupan atas kebutuhan-kebutuhan dasar.
b. Harga diri, yang mencakup dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, jati diri sebagai negara dan masyarakat timur dan lain sebagainya.
c. Kebebasan dari sikap menghamba. Komponen kebebasan manusia melingkupi segenap komponen antara lain: kebebasan politik, keamanan diri pribadi, kepastian hukum, kemerdekaan berekspresi, partisipasi politik dan pemerataan kesempatan serta pembangunan anti bias perempuan.
“Kebebasan politik” memang menjadi perhatian penting Sen. Namun demikian, ia bukanlah satu-satunya kebebasan instrumental. Kebebasan instrumental lain mencakup “fasilitas ekonomi” (peluang untuk memanfaatkan berbagai sumber ekonomi dengan tujuan konsumsi, produksi dan akses kepada uang), peluang sosial (program pendidikan dan kesehatan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, yang menjadikan seseorang memiliki kebebasan substantif agar dapat hidup lebih baik, “jaminan transparansi” (berkenaan dengan kebutuhan akan keterbukaan, termasuk hak mengungkapkan fakta guna mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme), dan “jaminan perlindungan” (memberikan jaringan pengaman sosial kepada orang-orang yang menanggung kemiskinan bukan karena kesalahan sendiri, misalnya akibat krisis ekonomi).(amartya sen,2009)
Seandainya istilah “kapabilitas” diganti dengan “kemampuan”, tentu akan lebih baik. Tidak ada makna yang hilang di sana. Kapabilitas dan kemampuan berbanding lurus secara makna, dan karena itu, menurut saya yang bukan ahli bahasa ini, tidak ada alasan untuk memakai istilah yang berasal dari bahasa Inggris itu dan meninggalkan padanan Indonesianya. Kapabilitas atau kompetensi ? Tampaknya memang dua istilah itu memiliki pengertian yang nyaris serupa meskipun tidak sama. Ada beda-halus (ini saya pakai sebagai terjemahan dari istilah “nuance” dalam bahasa Inggris) antara keduanya. Saya mengusulkan “kebisaan” untuk “kapabilitas” dan “kemampuan” untuk “kompetensi” . Terserah kepada para ahli bahasa, apakah usulan ini masuk akal atau tidak, atau mungkin ada usulan lain yang lebih baik. Yang penting, bagi saya, ada kemungkinan memakai padanan Indonesia untuk dua istilah itu.
1.             Kapabilitas Politik
Suatu system politik harus selalu mempunyai kapabilitas dalam menghadapi kenyataan dan tantangan terhadapnya.
Pada jaman Filsuf sokrates, Plato dan Aristokrasi (SPA), prestasi system politik di ukur dari sudut ukuran moral, demikian pula halnya pada teoritisi liberal abad ke- 18 dan 19 yang juga mengukur prestasi system politik dari sudut moral, etika dan hal-hal yang normative.
Pada era modern ini prestasi system politik diukur dari kemampuannya melakukan penyelesaian dalam menghadapi masalah bangsa dan tantangannya. Atau lebih berorientasi pada hal yang bersifat nyata (riil), seperti, pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, social dll.
Kemampuan ini dapat mempengaruhi perubahan politik, karena perubahan atau prakarsa perubahan politik dapat berasal dari 3 sumber yaitu, dari kelompok Elit, Infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
  1. Pengertian Kapabilitas Sistem Politik
Adalah kemampuan system politik dalam bidang ekstraktif, distributive, regulative, simbolik, responsive dan dalam negeri dan internasional untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana yang termaktud dalam pembukaan UUD 1945.
  1. Macam-macam kapabilitas system politik
    1. Kapabilitas Ekstraktif
Adalah kemampuan system politik untuk melakukan eksplorasi potensi yang ada pada sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kapabilitas ini merupakan masalah yang sama yang dihadapi oleh Sistem politik liberal, system politik demokrasi terpimpin, dan system politik demokrasi pancasila.
    1. Kapabilitas Distributif
Adalah kapabilitas system politik dalam mengelola dan mendistribusikan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berupa barang, jasa, kesempatan kerja,APBN status, dan bahkan juga kehormatan dapat diberi predikat sebagai prestasi riil system politik. Ukuran kapabilitas ini adalah kuantitas serta sifat tingkat pentingnya barang yang didistribusikan. Contoh, Sembako.
Status, kehormatan, dan kepahlawanan juga merupakan benda-benda abstrak yang didistribusikan menurut pola merit system maupun spoil system yang diyakini oleh system politik yang bersangkuta.
    1. Kapabilitas Regulatif
Adalah kapabilitas system politik untuk menyusun peraturan perundangan dan mengawasi serta mengatur dan mengendalikan tingkah laku individu dan kelompok , organisasi, perusahaan yang berada dalam system politik sehingga dapat bersikap dan berperilaku menurut peraturan yang berlaku.
    1. Kapabilitas Simbolik
Kapabilitas ini adalah kapabilitas yang dimiliki oleh system politik yang ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa terhadap pemimpin maupun negaranya.
Kapabilitas ini terbagi 2 yaitu :
  1. Kapabilitas Simbolik
Adalah kapabilitas yang dimiliki oleh pemimpin untuk mendapat dukungan dari masyarakat. Contohnya, charisma, mitos,
  1. Kapabilitas Output simbolik
Adalah kapabilitas yang dimiliki oleh system politik untuk memperoleh dukungan dan pengakuan masyarakat terhadap system politik.
Contohnya, Pameran kekuatan dan upacara militer, kunjungan pejabat tinggi, perayaan hari proklamasi kemerdekaan.
    1. Kapabilitas Responsif
kapabilitas system politik untuk menciptakan daya tanggap Adalah masyarakat terhadap hasil dari input dan output system politik.
    1. Kapabilitas Dalam Negeri dan Internasional
Adalah kapabilitas system politik untuk berinteraksi dengan lingkungan domestic dan lingkungan internasional. Ukurannya adalah antara lain, adanya pihak internasional melakukan investasi, kerjasama perdagangan, militer dan budaya


3.    Aksesibilitas
Ada kecenderungan di kalangan masyarakat untuk meminjam kata benda dalam bahasa Inggris yang berakhiran “ty” atau “ity” ke dalam bahasa Indonesia dengan cara menerjemahkan kedua akhiran itu menjadi “tas”. Demikianlah, “accestability” menjadi “aksesibilitas”dalam kamus besar Bahasa Indonesia “aksestabilitas” adalah dapat diakses,
VI.       Pelaksanaan Transparansi dalam beberapa aspek
1.         transparansi melalui e governance
Informasi di era keterbukaan saat ini sudah berkembang demikian pesatnya. Informasi tak lagi di artikan sebagai sarana untuk memberikan keterangan-keterangan agar individu maupun publik mengetahui belaka. Namun, ia telah berkembang menjadi kekuatan penentu yang dominan.
Sehingga, tak heran, muncul ungkapan siapa saja yang menguasai informasi dialah yang akan menjadi pemenang di medan laga.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, aktivitas penyampaian informasi menjadi bagian yang sangat vital. Melalui informasi yang dikelola secara cermat dan akurat, publik akan memahami, bahkan memberikan dukungan, ketika suatu kebijakan pembangunan digulirkan.
Demikian pula sebaliknya. Jika informasi yang disampaikan tidak dipahami dan kurang transparan, kekhawatiran akan timbulnya keresahan bahkan gejolak sangat dimungkinkan mengemuka.
Di sisi lain, publik pun berhak mendapatkan akses informasi dari penyelenggara pemerintahan. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 7 Ayat 1 menyatakan, setiap Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
Badan Publik terdiri dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN atau APBD maupun sumbangan masyarakat dalam dan luar negeri.
Sementara pemohon informasi publik adalah warga negara atau badan hukum yang mengajukan permintaan informasi kepada badan publik.
Aplikassi dari E-Government
Gambaran diatas kian menguatkan keyakinan bahwa informasi mengambil bagian penting dalam proses pembangunan.
Pemerintah sangat menyadari hal ini. Karena itu pemerintah menempuh berbagai upaya. Antara lain dengan menerapkan sistem elektronik government (e-government) atau pemerintahan berbasis elektronik. Dengan pola ini, pemerintahan tradisional (traditional government) yang identik dengan paper-based administration maupun pengerjaan secara manual mulai di tinggalkan.
Berdasarkan definisi dari World Bank, e-government adalah penggunaan teknologi informasi (seperti Wide Area Network, Internet dan mobile computing) oleh pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan.
Dalam prakteknya, e-government adalah penggunaan internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Secara ringkas, penerapan e-government bertujuan untuk menciptakan pelayanan publik secara on line atau berbasis komputerisasi. Memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai institusi public, dan memangkas sistem antrian yang panjang hanya untuk mendapatkan suatu pelayanan yang sederhana.
Selain itu, e-government juga dimaksudkan untuk mendukung pemerintahan yang baik (good governance). Penggunaan teknologi yang mempermudah masyarakat untuk mengakses informasi dapat mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga publik.
E-government dapat memperluas partisipasi publik dimana masyarakat dimungkinkan untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan maupun kebijakan oleh pemerintah, memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, inisiatif e-government telah diperkenalkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika). Dalam instruksi itu dinyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi.
E-government wajib diperkenalkan untuk tujuan yang berbeda di kantor-kantor pemerintahan. Administrasi publik adalah salah satu area dimana internet dapat di gunakan untuk menyediakan akses bagi semua masyarakat berupa pelayanan yang mendasar dan mensimplifikasi hubungan antar masyarakat dan pemerintah.
E-government dengan menyediakan pelayanan melalui internet dapat dibagi dalam beberapa tingkatan yaitu penyediaan informasi, interaksi satu arah, interaksi dua arah dan transaksi yang berarti pelayanan elektronik secara penuh.
Interaksi satu arah bisa berupa fasilitas men-download formulir yang dibutuhkan. Pemrosesan atau pengumpulan formulir secara online merupakan contoh interaksi dua arah. Sedangkan pelayanan elektronik penuh berupa pengambilan keputusan dan delivery (pembayaran)

2.          Peranan Aksesibilitas
a.      Aksesibilitas Pemerintahan

Dalam berbicara aksesibilitas dapat dimulai dengan sebuah contoh: departemen federal mengatakan akan menerbitkan on-line ratusan dokumen yang diterima dari proses pengajuan. Aksesibilitas peraturan pemerintah mewajibkan semua konten yang akan diterbitkan dalam HTML juga. Departemen, dimengerti, tidak memiliki sumber daya untuk pengiriman ke 300 mengkonversi format HTML.. Pada akhirnya tidak ada pengiriman diterbitkan di situs web departemen.
Aksesibilitas termudah adalah menggunakan sarana internet. Karena dengan internet kita dapat mengetahui akan perkembangan dunia termasuk negara kita sendiri secara cepat dan dapat kita pahami dan bahkan mencari solusi untuk setiap permasalahan yang ada.
Hasil pertemuan mandat adalah bahwa akses ke substansial, isi yang berharga dihilangkan. Dapat kita tarik kesimpulan bahwa makna dari peraturan adalah untuk menyediakan akses bagi semua orang.
Apakah ini dapat diterima? Jika persyaratan aksesibilitas tidak dapat dipenuhi, apakah itu berarti bahwa isi atau sistem tidak bisa on-line?
Ada 3 skenario dalam sistem Pengembangan Pemerintahan:
1. Ini adalah proses intrinsik dan aksesibilitas dilepaskan dengan sistem. Hal ini biasanya terjadi dengan sistem yang dirancang dengan audiens yang spesifik dalam pikiran.
 2. Sebuah sistem dilepaskan dan kemudian aksesibilitas dikembangkan kemudian Hal ini terjadi     dengan sistem yang memerlukan pelepasan yang cepat atau di mana anggaran pembangunan tidak cukup untuk mencakup aksesibilitas berfungsi penuh pada awalnya.
 3. Sistem yang dirilis dan aksesibilitas tidak dianggap penting dan tidak ditujukan untuk waktu yang lama.
Biaya aksesibilitas menggunakan uang dan uang dapat meletakkan kembali font-Sizer dan alt tag pada semua permukaan hanya aksesibilitas, dan ini bukan hanya tentang layar-pembaca. Kebutuhan akses yang berbeda kadang-kadang membuat persyaratan desain yang saling bertentangan. Hanya untuk konten-situs ini adalah tidak punya otak dan situs konten hanya harus memiliki setidaknya aksesibilitas dasar. Fungsional situs yang lebih rumit, terutama bagi orang-orang yang menggunakan teknologi bantu. Mendapatkan hak ini berarti memahami penonton dan pengujian fungsionalitas dengan penonton. Seperti yang dapat Anda bayangkan hal ini dapat menambahkan banyak biaya setup.
Secara umum sektor bisnis akan menilai persyaratan aksesibilitas berdasarkan kasus bisnis, yang akan mencakup dimaksudkan penonton dan kebijakan CSR. Yang tidak-sektor nirlaba akan menerapkan persyaratan berdasarkan penonton dan tersedia anggaran untuk proyek.
Pemerintah, di sisi lain, diberi mandat untuk menyediakan aksesibilitas di semua sistem online. Tidak boleh ada perdebatan tentang aksesibilitas termasuk dalam anggaran untuk proyek-proyek pemerintah.
Bagaimana pemerintah dapat mendorong pembangunan intrinsik atau memperpendek penundaan diuraikan dalam skenario 2? Dan bagaimana pemerintah dapat mempengaruhi perubahan di sektor lain?
Cara yang penting pemerintah dapat berkontribusi untuk aksesibilitas adalah dengan menekankan bahwa pembangunan aksesibilitas dilakukan sebagai bagian dari proyek ditambahkan kembali ke dalam produk perangkat lunak asli. Hal ini mudah dilakukan dengan Open Source sistem, dan akan sangat cepat mengalir ke instalasi lain dari perangkat lunak. Ini akan memiliki efek yang kuat untuk aliran pada aksesibilitas. Untuk sistem proprietary, mungkin pemerintah dapat menegaskan bahwa aksesibilitas perangkat tambahan disediakan untuk semua pelanggan lain gratis dalam proses update normal.
Mungkin juga, sistem dengan aksesibilitas sudah terbentuk dapat pilihan dalam proses seleksi. Mekanisme seperti ini akan berarti bahwa desain intrinsik lebih mungkin, lebih banyak dalam jangkauan yang tidak-sektor nirlaba dan sektor usaha, dan lebih sering praktek standar. Bergerak ini kita semua lebih dekat dengan 1 dan mengurangi kesenjangan waktu dalam 2.
Pertunangan digital Diskusi ini bukan hanya tentang sistem diinstal atau dikembangkan secara khusus untuk pemerintah, tetapi juga penggunaan yang ada, bebas atau komersial, on-line sistem untuk pertunangan. Jika ini tidak memenuhi standar aksesibilitas seharusnya mereka tidak dianggap sama sekali? Sifat keterlibatan digital lebih cepat dan ketepatan waktu adalah penting. Online jangka waktu lebih pendek dan pengguna yang tidak sabar. Kadang-kadang hal ini dapat berarti bahwa akses untuk banyak akan tersedia sebelum akses untuk semua. Apakah ini dapat diterima?
Contoh lain adalah Whitehouse baru-baru ini membuka inisiatif yang menggunakan alat yang tidak terlalu diakses. Jelas bahwa ketepatan waktu itu penting. Apakah mereka menunggu pemerintah untuk mengembangkan alat yang dapat diakses, atau untuk perusahaan-perusahaan pemasok untuk melaksanakan aksesibilitas saat akan hilang.

b.         Aksesibilitas Informasi

Aksesibilitas informasi adalah aktivitas pengguna (responden) dalam mendapatkan informasi melalui prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh perpustakaan yang bersangkutan. Indikator aksesibilitas terhadap informasi yang diamati dalam penelitian ini adalah sumber informasi, jenis informasi, frekuensi penelusuran, cara penelusuran, subjek yang ditelusur, waktu menelusur, dan jumlah jam penelusuran dalam setiap kali kunjungan.
 Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa sumber informasi yang terbanyak diakses pengguna adalah sumber offline (89,02%), kemudian sumber informasi online. Hal ini disebabkan sumber informasi offline seperti CD-ROM dapat dengan cepat diperoleh, mudah dicari dan di-download,  termasuk yang berupa artikel lengkap (fulltext), sedangkan untuk informasi yang bersumber online perlu cara pencarian dan analisis materi yang tepat serta perlu menggunakan kata kunci (password). Pada umumnya mahasiswa lebih mengutamakan kecepatan dalam memperoleh informasi dan cenderung menghendaki informasi dalam bentuk artikel lengkap dibanding abstrak. Dengan demikian, artikel lengkap lebih diminati dibanding abstrak.
Frekuensi kunjungan responden ke PUSTAKA tergolong rendah, yaitu 79,26% atau lima kali setiap bulan. Penentuan kategori rendah dikaitkan dengan jam dan hari kerja PUSTAKA, yaitu rata-rata 22 hari atau setara dengan 176 jam/bulan. Namun, mahasiswa tidak hanya berkunjung ke PUSTAKA, tetapi juga ke perpustakaan perguruan tinggi mereka. Argumentasi ini perlu dukungan data hasil penelitian lanjutan mengenai intensitas akses mahasiswa ke perpustakaan perguruan tinggi masing-masing. Lamanya waktu yang diperlukan  pengguna untuk melakukan penelusuran informasi disebabkan beberapa faktor, antara lain rendahnya tingkat kemampuan dalam memahami dan menentukan kata kunci, kurangnya penguasaan data bibliografis, banyaknya informasi yang dicari, serta lambatnya mesin pencari. Dalam penelitian ini, 60,68% mahasiswa menggunakan waktu lebih dari 5 jam untuk setiap kali penelusuran, atau termasuk kategori tinggi.

Informasi, Intensitas Komunikasi dengan Efektivitas Layanan Informasi Digital. Korelasi keempat variabel tidak nyata. Keadaan tersebut disebabkan responden cenderung tidak mempersoalkan faktor-faktor lain, kecuali mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Responden menyatakan kecepatan akses informasi online dan offline merupakan hal yang di- kehendaki. Kecepatan tersebut sangat ditentukan oleh ketersediaan fasilitas akses yang memadai, baik kualitas maupun kuantitas.
Dalam hal tingkat kesesuaian informasi yang dicari, responden cenderung menghendaki informasi dalam bentuk artikel lengkap. Empat belas indikator yang dikelompokkan dalam tiga variabel, yaitu karakteristik responden, aksesibilitas informasi dan intensitas komunikasi, tidak satu pun menunjukkan korelasi yang nyata atau sangat nyata dengan efektivitas layanan informasi digital.
Hal ini berarti ketiga variabel tersebut serta frekuensi komunikasi tidak menentukan pendapat responden terhadap efektivitas layanan informasi digital. Dengan demikian,efektivitas layanan informasi digital tidak ditentukan oleh karakteristik responden, aksesibilitas terhadap informasi dan intensitas komunikasi, tetapi cenderung lebih ditentukan oleh tingkat kebutuhan pengguna serta ketersediaan informasi yang akurat dan kecepatan penyampaiannya.
3.         Peran Aksesibilitas dalam Mengurangi Kemiskinan
             Pada masyarakat desa, kegiatan atau aktivitas dapat dilakukan dengan berjalan kaki, walaupun tidak menutup kemungkinan melakukan aktivitas yang jauh dan membutuhkan sarana atau alat untuk menuju ke tempat aktivitas, antara lain sarana transportasi berupa mobil atau yang lain. Pada umumnya masyarakat desa mempunyai keterbatasan pada sarana transportasi/jalan raya. Tidak seperti di kota, di desa jalan-jalan yang ada tidak semuanya berupa jalan beraspal tetapi berupa jalan tanah ataupun jalan batu, sehingga aktivitas masyarakat perdesaan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat kota. Keterbatasan aksesibilitas berupa jalan raya dari masyarakat desa menimbulkan berbagai permasalahan antara lain :
  1. Petani segan untuk meningkatkan penjualan surplus hasil buminya ke pasar karena tidak dapat dijual atau kesulitan biaya transportasi
  2. Produktivitas pertanian rendah dan kurangnya inovasi karena informasi dan input-input pertanian tidak dapat menjangkau para petani umumnya
  3. Tingkat pendaftaran sekolah rendah dan ketidakhadiran tinggi (baik guru maupun murid). Anak-anak di daerah perdesaan umumnya malas meneruskan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi karena sulitnya sarana transportasi dan lingkungan yang tidak mendukung
  4. Standar perawatan kesehatan rendah karena klinik sukar dijangkau dan tenga kesehatan tidak dapat melakukan perjalanan dengan mudah.
             Jadi keterbatasan dari aksesibilitas di perdesaan dapat menimbulkan masalah pada bidang-bidang lain diantaranya kesehatan dan pendidikan, lapangan pekerjaan, supply air dan sumber bahan bakar yang akan memberi kontribusi pada tingkat kemiskinan masyarakat (Gini Puspasari, 2000)
            Dalam perbaikan aksesibilitas yang dilakukan oleh pemerintah, kadang-kadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat perdesaan. Hal ini dikarenakan dalam merencanakan kebutuhan akses masyarakat berdasarkan pada spesifikasi standar pemerintah pusat, yang tidak merefleksikan kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat, data yang digunakan cenderung berdasarkan data sekunder yang kurang valid, yang semakin memperkuat jauhnya proses perencanaan dari kebutuhan masyarakat perdesaan.
             Hambatan utama bagi masyarakat untuk mempertahankan dan meningkatkan standar hidupnya adalah keterbatasan akses terhadap barang dan jasa utama seperti kesehatan, pendidikan, air, dan sumber-sumber alam lainnya, pasar dan kesempatan kerja.
            Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat perdesaan di Indonesia adalah keterisolasian dan keterbatasan mereka dalam memperoleh barang dan jasa yang untuk memenuhi kebutuhan dasar sosial dan ekonomi. Karena kondisi wilayah yang berbukit-bukit, kepadatan populasi yang rendah dan jarak antar desa yang jauh, maka akses yang tersedia sangat terbatas.
            Kurangnya akses sering dianggap sebagai masalah pembangunan yang hanya dapat diselesaikan melalui pembangunan jalan primer dan sekunder. Jalan dipandang sebagai sarana pembangunan di perdesaan, dalam pengertian bahwa jalan-jalan baru akan memperbaiki kondisi transportasi dan pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan akses. Upaya perbaikan akses terhadap fasilitas dan barang meliputi lebih dari sekedar pembangunan perbaikan jaringan jalan primer saja. Perbaikan jaringan jalan primer tidak akan dengan sendirinya memperbaiki akses. Perbaikan akses memang dipengaruhi oleh perbaikan jalan, karena menghasilkan pelayanan transportasi yang lebih baik. Jalan yang baik dapat dilalui oleh kendaraan pribadi maupun publik, sehingga dapat membantu aktivitas penduduk perdesaan. Kebanyakan rumah tangga perdesaan di Indonesia sangat miskin, sehingga tidak akan mampu membeli kendaraan bermotor.
            Peningkatan kebutuhan rumah tangga di perdesaan untuk melakukan perjalanan terutama ditentukan oleh akses yang dimilikinya terhadap berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan sehari-hari. Akses tersebut meliputi akses terhadap air, lahan yang menjadi sumber-sumber pangan, sekolah untuk mendidik anak-anak mereka, fasilitas kesehatan pada waktu sakit, dan pasar untuk melakukan aktivitas perdagangan berbagai barang. Rumah tangga perlu melakukan perjalanan dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Tingkat distribusi dan akses terhadap pusat-pusat pelayanan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan permintaan atau kebutuhan transportasi mereka. Walaupun investasi berupa jaringan jalan primer dan sekunder dapat mempercepat pembangunan di daerah perdesaan, namun investasi tersebut tidak dengan sendirinya memperbaiki mobilitas dan aksesibilitas penduduk setempat. Dibutuhkan berbagai investasi pelengkap lainnya untuk memperbaiki transportasi dan menyelesaikan permasalahan aksesibilitas di daerah perdesaan.
            Perbaikan akses terhadap barang dan jasa dasar merupakan senjata utama dalam memerangi kemiskinan. Salah satu hambatan utama penduduk miskin Indonesia adalah terbatasnya akses untuk mencapai barang dan jasa yang dibutuhkan. Rumah tangga membutuhkan akses untuk mencapai fasilitas dan pelayanan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar sosial dan ekonomi sehingga mampu untuk hidup sejahtera dan lebih produktif. Akses didefinisikan sebagai kemampuan penduduk untuk memperolah barang dan jasa yang dibutuhkan.
            Aksesibiltas merupakan faktor penentu dalam pembangunan perdesaan. Adapun bentuk kesuksesan program yang dirancang untuk memperbaiki kondisi kehidupan penduduk miskin di perdesaan, akan sangat tergantung pada akses yang dimiliki tehadap berbagai fasilitas dan barang (Anonim, 2002).
            Keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan, ke suplai air dan sumber bahan bakar akan memberi kontribusi pada tingkat kemiskinan masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kalau sebuah komunitas memiliki akses ke berbagai fasilitas, maka akan mempunyai kesempatan untuk keluar dari kemiskinan.
            Beberapa faktor dasar penyebab kemiskinan adalah : kurangnya keahlian, rendahnya produksi, rendahnya produktivitas, buruknya kondisi kesehatan, rendahnya pendapatan, terbatasnya pelayanan pendidikan, dan rendahnya investasi.
            Ada korelasi yang positif antara investasi dalam infrastruktur pada suatu jalan dan pembangunan ekonomi. Faktor-faktor penting lainnya yang juga diidentifikasi adalah pendidikan dan kesehatan.
            Hirschman (1958) mendasarkan tesisnya pada ide bahwa pertumbuhan ekonomi tidak diciptakan tetapi merupakan sebuah proses perubahan. Dia setuju dengan konsep transportasi sebagai suatu fasilitator. Namun demikian dia menyarankan bahwa perubahan dalam satu sektor produksi membawa perubahan pada sektor lainnya dan bahwa transportasi sering diartikan dalam perubahan tersebut. Transportasi oleh karena itu dipandang sebagai promotor perubahan.
            Dengan meningkatkan pembangunan transportasi dan meningkatnya aksesibilitas perdesaan akan dapat memperbaiki perekonomian di daerah perdesaan. Meningkatnya kegiatan perekonomian, berarti akan meningkatkan kesejahteraan dan dapat mengurangi kemiskinan penduduk perdesaan.
 Oleh karena itu, perencanaan aksesibilitas adalah penting. Dalam hal ini perencanaan aksesibilitas sebagai penyedia kesempatan untuk menempatkan transportasi ke dalam kategori yang lebih luas. Salah satu keuntungan nyata dari perbaikan akses adalah penghematan waktu. Pengeluaran waktu adalah beban serius dan membatasi potensi untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan transportasi secara langsung maupun tidak langsung dapat membantu upaya pengentasan kemiskinan.



VII.      Komisi Pelaku dalam mencapai transparansi pemerintahan

  1. Komisi Ombudsman Nasional
Pemberdayaan masyarakat melalui peran sertanya dalam kehidupan penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perlunya perlindungan hak-hak masyarakat, maka untuk pertama kalinya dibentuk Komisi Ombudsman Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor: 44 tahun 2000, sambil menyiapkan Rancangan Undang-Undang dan pengesahannya yang mengatur lembaga Ombudsman. Komisi Ombusdman, adalah Lembaga Pengawasan Masyarakat mandiri dan bersifat nasional, yang berwenang melakukan: (1) klarifikasi,  serta  (2)  monitoring dan pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara, khususnya mengenai proses pelaksanaan oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan terutama daiam memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) dengan tujuan: (1)  Membantu menciptakan dan atau mengem-bangkan kondisi yang kondusif daiam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui peran serta masyarakat; (2) Meningkatkan  perlingdungan  hak-hak masyarakat,  agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik.
Untuk mencapai tujuan dimaksud, komisi mempunyai tugas sebagai berikut: (1)  Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman; (2) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perpuruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain; (3) Melakukan langkah-langkah .untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh Penyelenggara negara daiam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan ombudsman Nasional.
Ombudsman Nasional dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil Ketua, serta Anggota sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang yang terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas pokok Ombudsman dalam rangka mencapai tujuannya. Dengan alat kelengkapan organisasinya, terdiri atas: (1)  Rapat Paripuma; (2) Sub Komisi;(3) Sekretariat; (4)  Tim Asistensi dan Staf Administrasi Rapat Paripuma, adalah pemegang kekuasaan tertinggi, yang terdiri dari seluruh anggota Ombudsman Nasional Pelaksanaan kegiatan Ombudsman Nasional sehari-hari dilakukan oleh Sub Komisi, terdiri dari: (1) Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring, dan Pemeriksaan; (2) Sub Komisi Penyuluhan dan pendidikan; (3)  Sub Komisi Pencegahan (4) Sub Komisi Khusus Sub Komisi dipimpin oleh seorang ketua yang ditentukan berdasarkan keputusan Rapat Paripuma Ketua Ombudsman Nasional, Sujata (2000) menjelaskan: Ombudsman bukan merupakan institusi pemerintah, dan bukan pula lembaga penegak hukum. Mandat yang dimiliki mewakili masyarakat, independensinya terletak pada statusnya yang bukan sebagai penyelenggara negara maupun penyelenggara pemerintahan.
Ombudsman Nasional bukanlah Penyidik atau Penyelidik, dan dengan demikian ia bukanlah aparat yang bertugas mengungkap kasus perkara. Apabila terjadi pembunuhan, penipuan, pencurian,  penganiayaan, pelecehan seksual, ataupun korupsi, bukanlah menjadi kewajiban Ombudsman untuk menanganinya. Porsi itu ada ditangan Polisi atau Jaksa. Apabila, pengadilan mengadili suatu perkara dengan keputusan : menghukum atau membebaskan seseorang atau memenangkan pihak yang satu serta mengalahkan pihak lain, bukan menjadi tugas Ombudsman untuk memberi penilaian, karena hal tersebut merupakan kewajiban Hakim. Kewenangan teknis fungsional tetap melekat pada institusi penegak hukum dimaksud. Namun, apabila dalam pelaksanaan fungsi kewenangan tersebut petugas yang bersangkutan melakukan periyimpangan, tidak  menjalankan kewajibannya, lalai, main pukul, dan menunjukkan kecenderungan memihak, maka masyarakat melalui Ombudsman pasti akan masuk untuk melakukan pengawasan. Jadi, yang diawasi bukanlah output dari aparatur penyelenggara negara, tetapi proses yang dilakukan olehnya.
Lembaga Ombudsman, lahir pertama kali di Swedia pada tahun 1809, yang diikuti oleh negeri Belanda, Australia, dan Seladia Baru, serta negara-negara lain di dunia. Menurut brosur yang dipublikasikan oleh organisasi Ombudsman internasional yaitu International Ombudsman Institute didirikan pada tahun 1978 yang berkedudukan di Kanada, dikernukakan : "The word "Ombudsman" is of Swedish origin and mean "Representative".  Many other names are used to represent the Ombudsman ". Kata Ombudsman berasal dari Swedia yang berarti  "Perwakilan".  Narnun,  beberapa  negara  menggunakan  sebutan lain sebagai pengganti istilah Ombudsman. Misalnya: Defensof del Pueblo (Spanyol, Argentina, dan Peru), Mediateur de la Repubique (Perancis, Gabon, Mauritania, dan Senegal), Public Protector (Afrika selatan), Difensor Civico(ltalia), Wafaqi Mohtasib (Pakistan), Lok Ayukta (India), Parliamentary Commissioner for Administration (Inggris dan Srilangka), Public Complaints Commission (Nigeria). Berdasarkan data tahun 1998 lebih dari 90 negara di dunia telah memiliki wacana Ombudsman. Dengan demikian, lembaga ini makin lama menjadi suatu kebutuhan dalam upaya untuk lebih memberi perlindungan kepada masyarakat (Sujata, ibid).
Komisi Ombudsman di Swedia, mempunyai tugas dan wewenang menilai proses perilaku para pejabat publik atau Penyelenggara Negara berdasarkan pengaduan masyarakat dan atau dari hasil pemantauan langsung terhadap praktik penyelenggaraan negara yang dinilai kurang atau tidak mencerminkan rasa keadilan, maupun yang diduga ada penyimpangan, ketidakteraturan (irregularities),  dan  atau  penyalahgunaan  kewenangan  (abuse  of power) terutama di bidang pelayanan umum yang dilakukan oleh para pejabat publik baik secara individu maupun kelompok.
Dalam perjalanannya, Komisi tersebut cukup berhasil di Swedia, satu dan lain hal karena didukung oleh faktor-faktor  penentu, yaitu: (1)  Kemauan politik (political will) Pemerintah; (2)  Komitmen  yang  kuat dari  pemerintah,  dunia  usaha,  dan masyarakat sebagai satu kesatuan; (3)  Penyuluhan atau sosialisasi yang intensif mengenai keberadaan Komisi kepada public; (4) Penegakan hukum (law inforcement) tanpa diskriminasi; (5)  Tingkat kesejahteraan birokrasi dan masyarakat pada umumnya, atau pendapatan per kapita penduduknya cukup tinggi; (6)  Kultur sosial yang mendukung reduksi ketidakpastian merupakan alasan penentu lainnya.
Memperhatikan variabel-variabel penentu tersebut, maka masih terbuka peluang untuk merealisasikan penyelenggaraan negara yang baik di Indonesia. Hal tersebut, setidaknya didukung oleh adanya kemauan yang kurang lebih sama dengan faktor-faktor penentu di Swedia, ditambah dengan pengalaman sejarah selama 39 tahun yang telah menyadarkan kita untuk tidak mengulangi sejarah yang sama yaitu kondisi pelayanan masyarakat yang jauh dari rasa keadilan serta ketidakpastian, dan ketidaktransparanan serta sarat dengan muatan KKN sebagai akibat dari sistem pemerintahan otoriter yang mengabaikan pelayanan publik, yang pada akhirnya harus dibayar dengan beban social cost yang sangat mahal.
Namun demikian, kita harus tolos dari masa transisi yang sangat berat di awal era reformasi ini, menuju masyarakat madani yang demokratis dan tumbuh dari bawah, sebagai pra kondisi penciptaan suasana yang kondusif kearah good governace.










VIII      Penutup
kesimpulan
Perhatian yang semakin terpusat kepada penciptaan suatu system penyelenggarana pemerintah yang bercirikan Good Governance merupakan suatu keharusan. Hal ini pada akhirnya akan menempatkan peranan pemerintah lebih bertindak sebagai katalis yang menjalankan fungsi mengarahkan daripada melaksanakan sendiri berbagai tugas pelayanan umum.
Atas dasar uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud Good
Governance adalah penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisiensi dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain negara, sektor swasta dan masyarakat. Oleh karena itu Good Governance juga merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Terwujudnya  pertanggung jawaban pemerintah terhadap warganya salah satu cara dilakukan dengan menggunakan prinsip transparansi (keterbukaan). Melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Juga melalui transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah.
Saran
  1. Diperlukannya transparansi dalam pemerintahan untuk mewujudkan Good Governance
  2. Etika dari pelaksana pemerintahan di tingkatkan untuk memberikan pelayanan terbaik bukan minta dilayani
  3. Sebagai peserta didik di lembaga kader pamong praja diharapkan mampu menerapkan transparansi dalam melaksanakan pemerintahan

DAFTAR PUSTAKA
1. LAN dan BPKP : Jakarta 2000
2. Undang-Undang No. 32 tahun 2004  tentang Pemerintahan daerah.
3. Nisjar, Kisri,1997, Beberapa catatan tentang Good Governance
  Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Jakarta: PP. Persadi.
4. Tjokroamidjojo, Bintoro,2000 Good Governance, Paradigma Baru
     Manajemen Pembangunan, Jakarta
5.Soemaryadi,2000.GooGovernance,Jakarta: LAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar