DEWI Fortuna nampaknya sedang enggan menetap di Bumi Pertiwi, Indonesia. Mungkin inilah ungkapan yang kebetulan tepat untuk menggambarkan fenomena Indonesia yang kaya akan potensi tapi ironisnya masih bergantung pada negera lain. Sebagian besar potensi alam raya telah & sedang dieksploitasi dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Tapi faktanya masyarakat Indonesia belum sepenuhnya merasakan hasil dari eksploitasi yang terjadi. Bahkan masyarakat Indonesia harus membayar cukup mahal untuk sekedar merasakan hasil-hasil potensi yang secara de facto merupakan hak milik masyarakat Indonesia sepenuhnya. Bahkan ada kalangan masyarakat Indonesia yang berfikiran lebih baik mati dan masuk neraka daripada hidup di Indonesia, dan mereka lebih memilih mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri dan tak sedikit yang melakukan bunuh diri secara massal dengan anggota keluarganya. Tragis bukan ?
Krisis, layaknya jamur, krisis memang sedang menempati lahan lembab dan memungkinkannya tumbuh subur di Indonesia. Bermula dari krisis moneter, berlanjut dengan krisis ekonomi secara universal hingga krisis kepercayaan antar warga negara. Berbagai macam krisis ini sangat berpengaruh terhadap daya saing antar bangsa. Peringkat Indonesia di dalam konteks daya saing global (global competitiveness) pada tahun 2003 berada di posisi ke-72. Kemudian peringkat tersebut membaik pada tahun 2004/2005, yaitu pada posisi ke-69 dari 104 negara. Meski mengalami kemajuan, Indonesia masih tertinggal jauh dengan beberapa negara maju di Asia lainnya. Peringkat daya saing yang didapatkan oleh suatu bangsa akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi bangsa tersebut. Sadar atau tidak, bangsa yang memiliki peringkat daya saing tinggi dapat mendikte dan mendominasi segala aspek proses penyelenggaraan pemerintahan bangsa lain yang berada dibawahnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Itulah yang menyebabkan setiap bangsa harus berlomba untuk mencapai peringkat daya saing yang tinggi. Dengan daya saing itulah sebuah bangsa dapat menciptakan & mempertahankan kondisi yang memungkinkan mesin – mesin ekonominya selalu bisa meningkatkan dan memberikan kemakmuran bagi orang –orang yang secara kumulatif nantinya akan memperkuat kesejahteraan rakyat secara universal.
Pentingnya peringkat daya saing bangsa membuat pemerintah RI gencar melakukan upaya perbaikan kearah kemajuan. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono selalu memotivasi rakyatnya terutama mahasiswa sebagai generasi muda agar ikut berpartisipasi meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk peningkatan daya saing bangsa melalui kontribusi intelektual dan penguasaan teknologinya. Dalam peringatan hari Kebangkitan Nasional yang ke – 100 tahun, presidenpun tidak lupa menekankan pentingnya peringkat daya saing sebuah bangsa. Hal ini terbukti dengan adanya 3 syarat fundamental kemajuan bangsa Indonesia yang diajukan oleh presiden RI yaitu menjaga & memperkuat kemandirian, mempertinggi daya saing & membangun peradaban bagsa.
Di sisi lain, Institute for Management Development (IMD) yang merupakan sebuah lembaga pendidikan bisnis yang berkedudukan di Swiss dan berdiri di awal tahun 1990 menegaskan bahwa untuk bisa unggul dalam perolehan peringkat daya saing, suatu bangsa harus menentukan & mengembangkan pilihan pada hal-hal yang mendasari indicator berikut ini :
1. Faktor kinerja ekonomi,
2. Efisiensi pemerintahan,
3. Efisiensi perusahaan
4. Daya tarik & agresivitas,
5. Sistem ekonomi tertutup & terbuka,
6. Ihwal asset,dan proses, serta
7. Masalah individual dan sosial.
Masih menurut IMD, salah satu faktor yang membuat Indonesia tidak bisa unggul dalam perolehan peringkat daya saing adalah menurunnya ketertarikan investor asing pada Indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi keamanan Indonesia yang kurang stabil dan banyaknya gejolak yang terjadi di tanah air akhir – akhir ini. Hasil survey daya saing yang dilaporkan World Economic Forum (WEF), mencatat bahwa Indonesia menghadapi banyak permasalahan. terutama pada kelemahan infrastruktur, ketidakefisienan birokrasi & ketidakstabilan penentu kebijakan. Setelah WEF meneliti keadaan ekonomi mikro, ekonomi makro, kualitas lembaga publik dan tekhnologi yang diterapkan, tahun 2006-2007 Indonesia menempati posisi ke-50 dari 125 negara dalam peringkat persaingan global antar bangsa.
Menurut WEF, ada 9 pilar yang dijadikan sebagai indikator penentu daya saing bangsa, yakni:
1) Institusi publik dari pemerintah maupun swasta
2) Infrastruktur
3) Ekonomi makro
4) Kondisi pendidikan & kesehatan
5) Pendidikan tinggi
6) Efisiensi pasar
7) Penguasaan tekhnologi
8) Jaringan bisnis
9) Inovasi
Secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia dapat melemahkan daya saing suatu bangsa. Karena salah satu faktor kunci yang mempengaruhi daya saing bangsa adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin muda dan kader-kader terbaik bangsa yang memiliki kecerdasan tinggi, sikap mental prima, unggul, berdaya saing tinggi, kemampuan handal, bertanggung jawab serta memiliki human relation yang tinggi.
Menurut Bapak Tumar Sumihardjo, sebuah bangsa akan dapat memiliki daya saing yang tinggi apabila bangsa itu memiliki komitmen. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melaksanakan pemerintahan yang baik (good governance) dan melakukan pemberantasan korupsi serta adanya komitmen rakyat untuk mendukung kebijakan pemerintah & upaya peningkatan kecerdasan bangsa. Komitmen inilah yang saat ini kurang di jiwai oleh bangsa Indonesia saat ini. Tapi, masih ada celah harapan untuk terus meningkatkan peringkat daya saing bangsa Indonesia yang kaya akan potensi dengan adanya kesadaran untuk berintegrative antara pemerintah dan rakyat, semangat generasi muda dan kaum intelektual dan kemauan menepis intervensi kepentingan individu dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar