AYAHKU SANG PEJUANG
Tetesan demi tetesan peluh yang mengalir di tubuhnya
Tak pernah ia rasa
Membanting tulang siang dan malam
Tak pernah ia keluhkan
Terik matahari dan dinginnya malam
Tak pernah membuat badan renta itu berhenti memacu diri
Menghabiskan 75% hidupnya
Untuk menghidupi keluarga
Tak pernah ia memikirkan dirinya sendiri
Yang ia pikirkan hanya kebahagiaan orang yang ia sayangi
MENJADI PEJUANG DALAM KEHIDUPAN KELUARGA
Penjadi pondasi dalam keluarga
Lalu….
Bagaimana jika beliau tak ada
Jika beliau acuh pada kehidupan kami
Entah
Terbuat dari apa hatinya
Yang begitu sabar mengorbankan diri demi masa depan
penerusnya
“kau tau, di sini ibumu menderita. Makan pun ia hanya sekali. Ia tak pernah mau menyentuh makanan.” Bentak Bunga dari balik telepon.
Aku hanya terdiam, tak terasa air mataku menetes. Kuseka air mataku, tak mau merubah suaraku di telepon. “kenapa dia seperti itu?” sambungku tak percaya.
“kau memang anak yang tidak berbudi pada orang tua!” Bentaknya.
‘tuuuuuutttt….tuuuuutttt….’
Telepon pun terputus, sepertinya sengaja diputus oleh Bunga, kakak perempuanku.
Aku tak sanggup lagi menerima kenyataan ini. di sini aku memvonis diriku berusaha untuk membahagiakan orang tuaku. Merasa diriku sudah mengorbankan segalanya demi mereka. Bahkan aku merasa mereka sengaja membuangku karena aku tak diharapkan di keluarga itu.
Aku Andi, putra bungsu dari 5 bersaudara. Aku satu-satunya putra dari pasangan kedua orang tuaku. Aku didaftarkan oleh ayahku di IPDN sebagai praja IPDN dan tentunya harus meninggalkan kampong halamanku. Kini, aku telah menjadi Nindya Praja. Aku selalu merasa dianak tirikan oleh kedua orang tuaku, apalagi kakak-kakakk perempuan semua. Aku merasa tak dibutuhkan dan hanya menjadi benalu dalam keluarga.
Kini, aku baru menyadari bahwa sesungguhnya apa yang selama ini aku rasakan adalaha salah. Orang tuaku sangat menyayangiku. Bahkan, kini ibuku sering sakit-sakitan karena memikirkan aku. Aku tak pernah absen untuk menghubungi beliau. Namun, aku tak pernah tau bahwa dibalik setiap tawa dan canda yang selalu kudengar di telepon tersimpan sebuah kesedihan yang mendalam di dalam hatinya. Aku begitu tega, jahat dan durhaka. Di sini aku hanya memikirkan diri sendiri, bergerak bebas tanpa memikirkan apa hasil yang akan aku tuai. Tak memikirkan bahwa di tempat jauh sana ada seorang wanita tua yang sedang menanggung beban mental dan tak hentinya berdoa demi anaknya yang sangat ia sayangi.
“AKU ANAK DURHAKA…!!!!!!!!!” teriakku.
Yah, aku anak durhaka yang telah membuat ibun ya menangis sedih, bukan membuat ibunya menangis bahagia. Anmun, aku berjanji kepada ibu dan diriku sendiri bahwa aku akan membahagiakannya. Membuat ia tidak merasa rugi telah melahirkanku di dunia.
To be continued….
Kini, aku telah menjadi Wasana Praja, aku yang telah mulai berubah dan bertindak dengan memikirkan orang tuaku kini mampu mengendalikan diriku. Aku tak lagi membuat deviasi. Aku bertekad lulus sebagai purna praja dengan menjadi salah satu dari 10 lulusan terbaik.
Di saat detik-detik persiapan wisudaku, aku mendapat kabar yang mungkin aku harap ini hanya mimpi buruk dan aku ingin cepat terjaga dari mimpi ini. ibuku meninggal dunia, ia terserang penyakit DBD dan telah dirawat di Rumah Sakit selama 2 Minggu. Yah, aku memang lalai karena selama sebulan ini aku terlalu sibuk mengurusi kelulusanku sehingga aku melupakan orang-orang yang sangat berharga dalam hidupku hingga akhirnya aku kehilangan mereka.
Semua persiapan yang telah aku buat sudah sirna. Aku yang ingin menunjukkan pada ibu dan orang di luar sana bahwa aku menjadi lulusan terbaik sudah tidak ada guna lagi. Ibu telah pergi, sang motivatorku telah meninggalkan aku begitu saja.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Semua yang kukejar selama 4 tahun ini sia-sia saja. Ibuku telah meningglkanku dikala aku ingin membahagiakannya. Dan aku tak dapat melihat senyuman di wajahnya untuk yang terakhir kali. Kesibukanku membuat aku kehilangan jiwaku sendiri.
Tuhan… kau begitu tega, inikah sanksi yang kau berikan padaku atas kelalaianku pada keluarga. Salahkah bila aku ingin berkumpul dengan mereka? Salahkah jika aku merindukan saat-saat bersamanya? Ibu, segala penghargaan ini kudapatkan hanya untukmu. Dan tak da sedikit pun niatku untuk membuatmu menangis dalam hatimu.
Ibu, kepergianmu adalah neraka bagiku. Kuyakin kau selalu ada di sampingku. Kutau kau pun tak berniat meninggalkanku. Ku tau itu ibu… aku akan berusaha menjadi yang terbaik dan menjadi kebangganmu ibu. Ibu, aku kan berusaha menjadi seperti dirimu walau ku tau itu tak kan mungkin. Ibu, aku mencintaimu dengan seluruh jiwa dan ragaku. Hanya padamu kupersembahkan seluruh hidupku.
<didi=<
Pesan untuk angkatan XIX
Hampir 2 tahun telah kita lalui Bersama, Saat muda, Tawa, canda bahkan tangis pun telah kita lalui bersama. Dalam pengkaderan, Dalam pembinaan Kita selalu mendapat porsi sama, Entah putra atau putri. Kini setelah kita meraih Bintang 1 yang kita perjuangkan pengganti dek XIX, Akankah kita mau mengenang masa itu. Akankah kita akan mempertahankan kekompakkan itu. Teman, janganlah kau mantul dalam setiap kegiatan, 1 saja kegiatan yg tak kau ikuti Sama halnya kau telah menghilangkan kesempatan Untuk merajuk kenangan Karena tak lama lagi 2 tahun Kita akan berpisah. Mungkin teknologi yang canggih dapat Membuat kita dapat bersua Namun, akankah kenangan itu kan terulang? Lihat saja purna-purna kita Mereke rela merogoh kocek Hanya demi dapat merasakan kegiatan seperti praja lagi Bersyukurlah bagi kita para praja Karena masih bisa menikmati kenikmatan ini. say “yes” to disiplin and “no” to mantul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar