Minggu, 06 Februari 2011

Keteladan Yang Menjadi Sebuah Ketela Pohon


Sebuah retorika klise kembali menggema di kampus Manglayang ini. Masih adakah keteladanan? Keteladanan untuk bekal eksistensi Sekolah Pamong Praja. Ok, dalam membicarakan tentang keteladanan maka kita akan bersentuhan dengan para senior kita. Karena keteladanan identik dengan orang yang lebih tua yang (seharusnya) mencontohkan kebaikan kepada juniornya. Kenyataanya, keteladanan tidak selurus itu dan tidak sesederhana itu.
Dalam sekolah kepamongan (IPDN, RED). Mata rantai sebuah keteladanan adalah harga mati. Kalau sampai mata rantai itu putus, maka hidup atau tidaknya jiwa kepamongan dalam sekolah ini patut diragukan. Karena keteladanan adalah media untuk mengaktifkan aturan. Jika keteladanan itu rusak, aturanpun akan rusak. Satu hal yang perlu kita sadari bersama. Keteladanan dalam menjalankan aturan memang berat. Saking beratnya, sampai-sampai tubuh yang sekekar seorang kader POLPRA maupun PATAKA, belum tentu bisa meloading dengan cepat.
Sekarang. Ketika kampus hanya dihuni oleh dua angkatan. Ketika kondisi kampus memiliki criteria A untuk mempraktekkan keteladanan karena ada junior dan senior dan ketika sekolah ini masih punya perarturan, sekali lagi . . . ketika sekolah ini masih punya aturan. Toh tetap saja keteladanan begitu sukar untuk ditemukan, sukar untuk dilakukan, dan sukar untuk ditanamkan dalam jiwa. Keteladanan tidak melulu hanya digerakkan oleh senior. Tapi tetap saja senior harus punya posisi selangkah lebih maju daripada junior. Termasuk dalam hal keteladanan. Hidup matinya keteladanan tergantung dari senior. Bukan berarti junior dilarang terlibat. Bisa saja junior juga ikut andil. Tapi resikonya dia akan dikatakan sok-sokan. Nah, sejak kapan junior takut dibilang sok? Jawabnya adalah sejak para Praja mendadak terkontaminasi oleh mental banci.
Kita hidup di kesatriaan. Berarti kita adalah seorang satria. Berani mengakui kesalahan apalagi kebenaran. Jika itu diterapkan sebagai sebuah keteladanan tanpa harus takut dibilang sok-sokan, sok idealis, atau rasa bosan. Yang ada adalah niat untuk merubah lembaga kita ke arah yang lebih baik adalah modal utama untuk membangun keteladanan dari tidur panjang. Tok sekarang yang namanya kekerasan (katanya) sudah diabaikan, bukan berarti keteladanan jadi ketela pohon (habis dimakan).
Dulu kekerasan memang di jadikan suplemen untuk mengabadikan keteladanan. Itu sukses membuat lembaga ini dicap sebagai sekolah yang menerapkan disiplin murni, bukan disiplin komando. Sekarang, katanya . . . sekali lagi katanya kekerasan itu sudah dibekukan. Sedangkan keteladanan itu diaplikasikan dengan cara persuasive. Sangat jelas sekali perbedaan hasilnya. Keteladanan sebagai prodek dari kekerasan dan keteladanan  sebagai produk dari tanpa pemaksaan. Keteladanan persuasiflah yang sekarang dikampanyekan dan diharapkan dapat menggoalkan perubahan paradigm. Sementara itu kekerasan yang mengakar dan masih melekat adalah PR bagi Lembaga dan segala isinya. Itu dilemanya. Mempertahankan keteladanan dengan persuasif untuk perubahan paradigma tanpa menyentuh sebuah identitas sekolah kepamongan yang sudah dibentuk sedemikian penuh.
Kita perlu meyakinkan bahwa ini adalah keteladanan, bukan ketela pohon yang seenaknya bisa dimakan, habis, dan berakhir menjadi kotoran. Tapi keteladanan juga tidak layak disebut sebagai prodok kekerasan. Karena keteladanan dapat tercipta melalui suatu hal yang bukan kekerasan. Yaitu persuasif. ***Norma.

KETELADANAN BUKAN PRODUK KEKERASAN
Lembaga ini sudah bereformasi. Proses reformasi haruslah didukung oleh para civitas akademika yang bersangkutan. Ketika kesatriaan hanya dihuni oleh dua angkatan. Maka lembaga ini sudah layak untuk disebut sebagai lingkungan kondusif untuk menjalankan kehidupan Pamong. Kehidupan Pamong adalah kehidupan yang penuh dengan proses, mau menjalankan proses bagaimanapun lelahnya. Kehidupan Pamong juga tersermin dalam wujud kakak dan adik. Dimana kakak, sebagai orang yang lebih tua adalah patut untuk dijadikan teladan bagi adiknya.
Muda dan Madya Praja. Yang lebih dulu meretas pahit dan manis di Kampus Kawah candra dimuka ini adalah Madya Praja. Seyogyanya seorang Madya Praja member contoh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar