Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Hal ini terlihat jelas pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan kearifan tradisional yang lekat dalam kehidupan masyarakatnya. Kampung Naga secara administratif terletak di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga ± 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya ± 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni 360 anak tangga sampai ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian, melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai pada akhirnya masuk kedalam wilayah Kampung Naga.
Menurut sejarah, asal usul Kampung Naga memiliki dua versi. Pertama, leluhur mereka adalah pasukan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung yang kalah dalam penyerbuan Kota Batavia, daripada kembali ke Mataram dengan resiko dipenggal oleh tentara Belanda, mereka memilih untuk menetap di suatu lembah, di pinggir Sungai Cibulan. Di sanalah mereka membuka lahan, membuat sawah dan beranak-pianak. Versi kedua, leluhur mereka adalah masyarakat adat Baduy yang meninggalkan kampungnya dan membentuk komunitas baru di lembah Sungai Cibulan. Perpindahan ini terjadi pada masa penyebaran Agama Islam di Jawa Barat. Mereka berusaha menghindari konflik dengan orang-orang yang setia pada kerajaan Pajajaran yang saat itu masih beragama Hindu. Sedangkan menurut Habib, seorang pemuda asli penduduk Kampung Naga mengatakan kalau selama hidupnya ia tidak pernah mendengar kisah apapun tentang asal-usul Kampung Naga. Dia hanya mengetahui bahwa para leluhurnya sudah turun temurun tinggal disana lengkap dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan yang hingga saat ini masih tetap berlaku dan dipegang teguh oleh penduduk Kampung Naga.
Luas areal Kampung Naga kurang lebih sekitar 1,5 ha dengan jumlah tempat tinggal sebanyak 109 rumah. Penduduk kampung naga hidup sangat sederhana dan masih bergantung pada alam dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Salah satu adat yang masih dipegang teguh oleh warganya sampai saat ini adalah tidak ada pemakaian listrik atau dengan kata lain mereka menolak adanya listrik yang masuk ke desa mereka. Masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa listrik hanya akan menimbulkan rasa kedengkian (iri hati) di antara mereka, hal ini dilatarbelakangi oleh perbedaan kemampuan daya beli masyarakat untuk membeli barang-barang elektronik.
Seperti juga adat masyarakat Baduy Banten, warga Kampung Naga tidak memperkenankan barang atau peralatan modern masuk ke Kampung Naga. Sehingga jika kita memasuki areal Kampung Naga kita tidak akan mendengar suara radio yang mengalunkan musik-musik merdu, dan juga tidak akan melihat kerumunan anak bermain PS terlebih lagi teriakan para pecinta sepak bola di televisi, kita hanya dapat mendengar suara-suara alam lengkap dengan suara serangga dan katak tatkala matahari terbenam ke peraduaannya.
Dengan keteguhan mereka memegang prinsip para leluhur justru hal tersebut merupakan keunikan tersendiri bagi Kampung Naga, sehingga keberadaannya patut untuk dilestarikan. Kesederhanaan Kampung Naga juga dapat dilihat dari 109 rumah dengan bentuk bangunan atau rumah yang khas berbentuk panggung, dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan beratapkan ijuk. Selain hal tersebut ada keunikan lain yang ada pada Kampung Naga yakni seluruh penduduknya beragama Islam dengan posisi rumah mereka menghadap ke arah kiblat. Tata letak 109 rumah tersebut berjajar dari atas ke bawah, apabila dilihat dari kejauhan akan terlihat putih dan hitam yang bertumpuk bagaikan tanaman jamur yang tumbuh subur..
Selain sangat unik, Kampung Naga juga terkenal dengan keramahan khas penduduk tatar Sunda. Hal ini tampak dalam sikap mereka yang bersahaja, ramah dan penuh sopan santun dalam menerima tamu atau pendatang yang kebetulan singgah di kampungnya.
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga memiliki pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan alat musik sejenis goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Namun demikian, warga Kampung Naga diperbolehkan menyaksikan pertunjukan Wayang atau kesenian lainnya asalkan berada diluar Kampung Naga.
Disamping suasana khas yang diciptakan oleh para penduduknya. Kampung Naga juga menyuguhkan pemandangan alam yang eksotis, sawah teras siring yang menghijau, sungai yang jernih, kicauan burung yang meramaikan suasana pedesaan disetai dengan desiran angin membuat perjalanan wisata ini bukan hanya sebatas perjalanan wisata budaya tetapi juga wisata alam yang indah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar