Selama ini rakyat papua memang selalu terpinggirkan dalam hal ekonomi. Apakah penyebabdari kondisi yng memperhatikan ini? Kelaparan mencekram penduduk kabupaten Yahukimo, menyebabkan 55 orang meninggal, 12 orang sakit parah, dan sekitar 55.000 terancam bahaya yang sama. Sekilas terlihat bahwa rakyat di Yahukimo itu sendiri terlambat menanam. Namun, apakah mereka selebihnya patut disalahkan? Pemerintah yang bertanggung jawab dalam menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat. Pemerintah berkewajiban menyediakan stok pangan sebagai pengamanan pada saat terjadi gagal panen. Lantas, kenapa kewajiban pemerintah ini tidak dilaksanakan?
Ditinjau dari perspektif politik, masalah tersebut tidak lepas dari konsentrasi politik yang terjadi di wilayah tersebut. Pertentangan politik yang terus terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua membuat mereka mengabaikan nasib rakyat. Perhatian pusat dan pemerintah daerah hanya tertuju pada tarik-menarik kepentingan politik. Pangkal masalahnya ada pada “separatisme” di satu sisi dan pembentukan provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) di sisi lain. Pembentukan provinsi ini masih menimbulkan pro-kontra, bahwa dengan pembentukannya semata-mata untuk menghilangkan separatisme.
Masalah ini yang harus segara diselesaikan agar politik di bumi cendrawasih ini dapat berjalan normal sehingga rakyat mendapat perhatian yang memadai. Salah satu penyebab separatisme, seperti dirasakan pejabat sementara Gubernur Papua Jacobus Pervidya Solossa, adalah kurangnya keterlibatan masyarakat asli dalam pengambilan keputusan politik serta adanya ketimpangan sosial ekonomi. Dari kondisi penduduk asli yang terpinggirkan, muncul api separatisme. Dalam konteks ini, langkah DPR RI periode 1999- 2004 dan Pemerintah Megawati Soekarno Putri adalah tepat. Mereka membuat kebijakan desentralisasi asimetris terhadap Papua, yaitu dengan memberikan kewenangan- kewenangan khusus termasuk kewenangan dalam bidang ekonomi.
Tanggal 19 juli 2001, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Otonomi Khusus Papua untuk kemudian secara arif mengadopsi draf RUU Otsus Papua yang disusun oleh elemen
Orang Papua sendiri. Sehingga pada tanggal 21 November 2001 terbitlah UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sayangnya, kearifan ini kemudian dicederai oleh pusat sendiri (masih dalam era pemerintah Megawati) dengan pembentukan provinsi yang kontroversial, yaitu Irjabar. Pembentukan ini tidak sesuai dengan UU Otsus Papua dan merupakan bentuk intervensi pusat. Dalam UU No.21/2001 Pasal 76 secara jelas dikatakan bahwa pembentukan provinsi-provinsi di provinsi Papua harus melalui persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Bredasarkan pasal tersebut, terlihat bahwa provinsi Irjabar lahir dari sebuah “pemerkosaan” politik. Maksudnya, Irjabar adalah pruduk pemaksaan kehendak pusat atas daerah. Apakah rakyat Papua bisa dengan ikhlas menerima keberadaan provinsi tersebut. Disini terlihat hegemoni pusat di Papua masih berlangsung. Pemerintah Pusat tidak sepenuh hati dalam melaksanakan UU Otsus Papua. Karena itu, perlu dipertanyakan apa sebenarnya yang diinginkan pusat?Apakah pemerintah memiliki kehendak untuk benar-benar membangun tanah Papua, atau sekedar menguras Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tanpa peduli terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Pusat perlu memperhatikan gerakan-gerakan yang mendukung kemerdekaan Papua yang ada di luar negeri. Masalah Papua adalah masalah dalam negeri dan menyangkut kedaulatan negara. Karena itu, kemungkinan inflitrasi dari pihak-pihak yang punya kepentingan di Papua harus dicegah, menciptakan keadilan dan menjujung tinggi hak asasi manusia. Pemerintah perlu segera menyelesaikan masalah Papua secara komprehensif. Dengan demikian, perhatian terhadap Papua dapat secara penuh pada penciptaan kesejahteraan rakyat.*** By: K@rm3n ^_~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar